Saat Dunia Menakut-nakuti dengan Kemiskinan, Allah Menjanjikan Kecukupan

Dalam kehidupan, urusan rezeki sering kali menjadi sumber tekanan, stres, bahkan hingga menyebabkan keputusasaan. Banyak orang yang merasa hidupnya sempit, utang tak kunjung lunas, atau merasa tidak puas dengan hasil kerja kerasnya. Padahal, Allah SWT telah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya. Tawakal, atau berserah diri sepenuhnya kepada Allah, adalah kunci untuk meraih ketenangan dalam menghadapi urusan rezeki.

Dua Aspek Penting dalam Tawakal
Tawakal dalam urusan rezeki memiliki dua aspek utama yang perlu dipahami dan diterapkan:
  • Berserah diri saat proses mencari rezeki. Ini berarti kita berikhtiar dengan cara yang halal dan nyaman, tanpa harus tergesa-gesa atau merasa cemas. Kita yakin bahwa rezeki sudah ditetapkan oleh Allah, sehingga tidak perlu mengambil jalan pintas yang dilarang.
  • Berserah diri terhadap hasil. Hal ini penting agar manusia tidak terbebani oleh kegagalan. Dengan tawakal, kita menyadari bahwa hasil terbaik adalah ketetapan Allah, sehingga kita bisa menerima kegagalan dengan lapang dada dan tidak mudah putus asa.
Ketenangan ini berakar dari keyakinan yang kuat bahwa Allah menakdirkan dan menjamin rezeki untuk setiap makhluk-Nya. Sebaliknya, setan selalu berusaha menakut-nakuti manusia dengan kemiskinan dan kefakiran.

Perangkap Setan: Memerintahkan Kefakiran dan Dosa
Setan menjanjikan kefakiran (asy-syaithanu ya'idukumul-faqra) dan memerintahkan perbuatan keji (wa ya'murukum bil-fahsya). Makna kefakiran di sini bukan hanya ketiadaan harta, melainkan perasaan selalu merasa butuh dan tidak pernah puas. Orang yang kaya raya pun bisa jadi fakir karena selalu merasa kurang dan terus mencari tambahan, bahkan dengan cara yang haram. Perasaan butuh yang berlebihan ini membuat manusia mudah terjerumus ke dalam dosa. Contohnya: 
  • Riba: Ketakutan tidak bisa memiliki rumah atau mobil membuat seseorang nekat mengambil pinjaman riba (KPR atau leasing). Padahal, rezeki datang dari Allah, bukan dari utang berbunga. 
  • Korupsi dan Suap: Orang yang sudah memiliki penghasilan besar tetap tergoda mengambil uang haram karena perasaan "butuh" dan "sayang jika kesempatan ini dilewatkan." 
Godaan setan ini memutarbalikkan pemahaman manusia tentang rezeki. Padahal, Allah berfirman dalam Surah An-Nur ayat 32: "Jika mereka fakir, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka dari karunia-Nya." Bahkan, pernikahan yang merupakan perintah syariat, seringkali dihalangi oleh ketakutan akan kemiskinan. Padahal, pernikahan justru menjadi sarana bertemunya dua pintu rezeki.

Bahaya Harta Haram: Utang Halal Saja Menghalangi Surga
Pahala yang besar sekalipun, seperti mati syahid di medan jihad, tidak dapat menghapuskan dosa utang. Hadis riwayat Muslim menyebutkan bahwa orang yang mati syahid pun tidak akan diampuni dosanya jika memiliki utang yang belum lunas. Jika utang yang sifatnya legal dan halal saja bisa menunda seseorang masuk surga, bagaimana dengan harta haram seperti korupsi atau suap? Tentu saja dosanya jauh lebih besar dan berbahaya. Sayangnya, banyak orang merasa aman karena keyakinan yang keliru, seperti: Merasakan sedekah bisa menghapus dosa harta haram. Merasakan zakat dapat mensucikan harta haram. Merasa doa dan ibadah akan tetap diterima meskipun hartanya haram. Padahal, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa doa orang yang makan, minum, dan berpakaian dari harta haram tidak akan dikabulkan. Ini menjadi pengingat bahwa ibadah tidak akan sempurna jika sumber hartanya tidak bersih. 
Ketenangan Hati: Cukupkan Diri dan Raih Rezeki dengan Wajar 
Imam Hatim Al-Asam pernah ditanya mengenai tawakal. Beliau menjawab, "Aku tahu bahwa rezekiku tidak akan dimakan oleh orang lain, maka jiwaku menjadi tenang." Ketenangan ini membuat seseorang tidak perlu mencari rezeki dengan cara yang berlebihan atau merugikan orang lain. Seperti jawaban Abu Hazim kepada seseorang yang mengeluhkan kenaikan harga: "Apa yang membuatmu bingung? Dzat yang memberi kita rezeki saat harga murah, Dia juga yang memberi rezeki saat harga mahal." Rezeki setiap manusia sudah ditetapkan. Jemputlah dengan cara yang wajar, halal, dan normal. Jangan menzalimi orang lain atau mengambil jalan haram. Dengan tawakal, kita akan menemukan bahwa ketenangan hati jauh lebih berharga daripada kekayaan yang didapat dengan cara yang kotor.

0 Comments