Hadits Shahih Bukhari Nomor 103 kembali menekankan pentingnya akurasi dan kehati-hatian dalam menerima dan menyampaikan ilmu, dengan dua fokus utama yang sering disebutkan: ancaman dusta atas nama Nabi dan pentingnya mengulang pertanyaan hingga paham.
📜 Teks Hadits Shahih Bukhari No. 103 (Kitab Ilmu)Hadits ini dapat dilihat dari dua sisi, tergantung penempatan bab dalam susunan kitab:Varian 1: Dosa Berdusta atas Nama Nabi {shallallahu 'alaihi wa sallam}Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib {radhiyallahu 'anhu}, beliau berkata, Nabi Muhammad SAW {shallallahu 'alaihi wa sallam} bersabda:
«لَا تَكْذِبُوا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجْ النَّارَ»
Terjemahan:
«لَا تَكْذِبُوا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجْ النَّارَ»
Terjemahan:
"Janganlah kalian berdusta terhadapku (atas namaku). Karena sesungguhnya barangsiapa yang berdusta terhadapku, maka hendaklah ia masuk neraka."
Pentingnya Mengulang Pertanyaan Hingga PahamDiriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Aisyah {radhiyallahu 'anha} (istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam):
Terjemahan:"Aisyah {radhiyallahu 'anha} dulu tidak mendengar sesuatu yang tidak beliau pahami, kecuali beliau meminta diulangi hingga beliau memahaminya. (Misalnya) bahwa Nabi {shallallahu 'alaihi wa sallam} bersabda:
'Siapa saja yang dihisab, maka dia akan diazab.' Aisyah berkata: 'Aku mengatakan...' (Lalu Aisyah bertanya tentang makna hadits tersebut).
📝 Tafsir dan Kandungan HaditsA. Fokus Utama: Ancaman Bagi Pendusta Atas Nama NabiPeringatan Keras (Ancaman Neraka): Hadits ini mengandung peringatan paling keras dalam Islam. Dusta atas nama Rasulullah {shallallahu 'alaihi wa sallam} (yakni membuat-buat hadits palsu atau mengatakan sesuatu berasal dari beliau padahal tidak) bukanlah dosa biasa, melainkan dosa yang diancam dengan neraka secara eksplisit.
Mengapa Dosa Besar?
Karena perkataan Nabi {shallallahu 'alaihi wa sallam} adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Berdusta atas nama beliau berarti merusak syariat, menyesatkan umat, dan menjerumuskan manusia ke dalam amal yang salah, seolah-olah itu adalah perintah agama.Kehati-hatian dalam Riwayat: Hadits ini menjadi landasan utama bagi para ulama hadits untuk bersikap sangat hati-hati dan ketat dalam menerima setiap periwayatan. Inilah yang mendorong munculnya ilmu sanad (rantai perawi) dan ilmu jarh wa ta'dil (ilmu menilai kredibilitas perawi).
Pentingnya Tathabbut (Verifikasi): Pesan utamanya adalah, jika seseorang tidak yakin seratus persen bahwa suatu perkataan benar-benar berasal dari Nabi {shallallahu 'alaihi wa sallam}, ia harus menahan diri untuk tidak menyampaikannya.
Pentingnya Mengulang PertanyaanTeladan dari Aisyah:
Istri Nabi {shallallahu 'alaihi wa sallam}, Aisyah, dijadikan teladan karena beliau tidak pernah malu atau segan untuk mengulang pertanyaan (raja'at fīhi) sampai beliau benar-benar mengerti (hattā ta'rifahū).
Menghindari Kesalahan Pemahaman: Hal ini menunjukkan prinsip penting dalam menuntut ilmu:Akurasi lebih penting daripada Kecepatan. Lebih baik mengulang dan lambat, daripada cepat tapi salah paham.
Ilmu yang Tidak Jelas Harus Diklarifikasi.
Jika seorang murid (penuntut ilmu) tidak mengerti, ia wajib bertanya kembali kepada gurunya.Penerapan dalam Kehidupan: Kisah Aisyah bertanya tentang "Siapa saja yang dihisab, maka dia akan diazab" menunjukkan bahwa bahkan dalam hal-hal gaib seperti hisab di hari kiamat, klarifikasi dan pemahaman yang mendalam sangat diperlukan untuk menenangkan hati dan mengarahkan amal yang benar.
🌟 Hadits Shahih Bukhari No. 103 memberikan dua pilar utama dalam pemeliharaan ilmu agama: (1) Larangan keras untuk berdusta atas nama Rasulullah {shallallahu 'alaihi wa sallam} demi menjaga kemurnian syariat, dan (2) Pentingnya bagi penuntut ilmu (baik laki-laki maupun perempuan) untuk aktif bertanya, mengulang, dan memastikan pemahaman yang sempurna terhadap setiap pelajaran.




0 Comments