Curang Dalam Sholat

Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Baik dan hanya menerima amal yang baik. Amal yang baik tidak hanya dilihat dari wujudnya, tetapi juga dari cara pelaksanaannya—yaitu sempurna dan ikhlas. Allah melarang keras praktik tatfif, atau kecurangan, seperti yang termaktub dalam Surat Al-Muthaffifin. 
Dalam surat tersebut, Allah mengancam orang-orang yang curang dalam takaran atau timbangan saat berinteraksi jual beli. Namun, para ulama menjelaskan bahwa prinsip ini juga berlaku dalam ibadah.
Ibadah adalah takaran yang diberikan oleh Allah. Jika kita melaksanakannya dengan sempurna, sesuai aturan, maka kita akan mendapatkan balasan sempurna. Sebaliknya, jika kita mengurangi takarannya, kita telah melakukan tatfif dalam ibadah. Lalu, apa saja contoh praktik curang dalam beribadah?
1. Curang dalam Shalat
Shalat adalah ibadah utama yang memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Kecurangan dalam shalat bisa terjadi dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah tidak menyempurnakan gerakan shalat, seperti ruku' dan sujud. Nabi SAW menyebut orang yang shalat terburu-buru seperti pencuri terburuk. Mereka mencuri hak-hak shalatnya sendiri.
Kisah Hudzaifah bin Al-Yaman RA menjadi pelajaran berharga. Beliau pernah melihat seorang pria berusia lanjut yang shalat dengan sangat cepat. Ketika ditanya, pria itu mengaku sudah shalat seperti itu selama 40 tahun. Hudzaifah lantas memperingatkan, "Jika salatmu seperti ini sampai kau mati, maka kau mati di atas bukan di atas agama Muhammad." Ini menunjukkan betapa seriusnya masalah tidak tumakninah (tenang dan mantap) dalam shalat.
2. Curang dengan Meninggalkan Shalat Berjamaah
Bagi laki-laki yang mampu, shalat berjamaah di masjid adalah tuntunan syariat yang sangat ditekankan. Para sahabat menganggap meninggalkan shalat berjamaah sebagai bentuk kecurangan. Umar bin Khattab RA pernah menegur seorang laki-laki yang tidak shalat Ashar berjamaah, dan beliau menyebutnya telah "curang dalam shalat." Sikap ini menunjukkan betapa besar perhatian para sahabat terhadap shalat berjamaah, yang mereka anggap sebagai takaran ibadah yang tidak boleh dikurangi.
3. Curang dalam Ibadah Lain
Prinsip tatfif juga berlaku dalam ibadah lain. Sebagai contoh, puasa yang seharusnya melatih kita menahan diri, seringkali tidak sempurna karena kita masih sibuk dengan maksiat lisan atau perbuatan. Nabi SAW bersabda, "Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta (maksiat), maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya." Artinya, puasa yang tidak diiringi dengan usaha menjauhi maksiat adalah puasa yang tidak bernilai di sisi Allah.
Demikian pula dengan sedekah. Sedekah yang diselingi dengan sikap riya (pamer) atau menyakiti perasaan penerima sedekah adalah bentuk kecurangan yang dapat menghapus pahalanya. Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)." (QS. Al-Baqarah: 264)
Jika Allah SWT memberikan ancaman yang keras bagi orang yang curang dalam urusan dunia, maka tentu lebih besar lagi ancaman bagi mereka yang curang dalam beribadah kepada-Nya. Marilah kita jadikan setiap ibadah sebagai bentuk persembahan terbaik. Tunaikanlah shalat dengan khusyuk dan tumakninah, penuhilah kewajiban berjamaah, dan jalankan puasa dengan menjauhi segala bentuk maksiat. Dengan demikian, kita berharap agar amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT, dan kita terhindar dari golongan orang-orang yang curang.

0 Comments